Pasal
1320 BW mengatur bahwa syarat sahnya perjanjian terdiri dari :
1.
Kesepakatan para pihak
2.
Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian
kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan
suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang,
dwaling, bedrog).
Kecakapan hukum sebagai
salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melakukan
perjanjian harus telah dewasa, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh
undang-undang. Menurut Pasal 1330 BW juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan seseorang dikatakan dewasa yaitu telah berusia 18
tahun atau telah menikah. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan
sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya. Sementara
itu seseorang dikatakan sehat mentalnya berarti orang tersebut tidak berada dibawah
pengampuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 juncto Pasal 433 BW. Orang
yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya. Sedangkan orang
yang tidak dilarang oleh undang-undang maksudnya orang tersebut tidak dalam
keadaan pailit sesuai isi Pasal 1330 BW juncto Undang-Undang Kepailitan. Suatu
hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek
perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan
jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para
pihak.
Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian
termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1335 BW,
suatu perjanjian tanpa sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini
adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian. Kesepakatan para pihak dan kecakapan
para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila
tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang
para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap
berlaku.
Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu
sebab yang halal merupakan syarat sahnya
perjanjian
yang bersifat objektif. Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Pada
kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian
secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak
dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami
pergeseran dalam pelaksanaannya. Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian
yang dibuat dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja.
Perjanjian seperti itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract). Dalam suatu perjanjian
harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang dapat diterapkan antara lain :
1. Azas
Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada
seketika setelah ada kata sepakat
2. Azas
Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian
3. Azas
kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat
pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku
4. Azas
Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam
hukum
5. Azas
Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada
keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang
diperjanjikan
6. Azas
Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang
membuat dan melaksanakan perjanjian
7. Azas
Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai
undang-undang bagi para pembuatnya
8. Azas
Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan,
sebagaimana ketentuan Pasal 1339 BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
9. Azas
Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim
dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 BW yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.