A.
DASAR
HUKUM YANG MENGATUR JUAL BELI ONLINE
1.
Dalam KUHPerdata
Terjadinya proses jual beli secara online
berasal dari kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak penjual dan pembeli untuk
melakukan transaksi jual beli. Kesepakatan yang dibuat oleh pihak penjual dan
pembeli dalam kitab KUHPerdata di kenal dengan istilah kontrak. Kontrak dapat
disamaartikan dengan perjanjian, hal mendasar perbedaan pengertian kontrak dan
perjanjian, yaitu kontrak merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara
tertulis, sedangkan perjanjian merupakan semua bentuk hubungan antara dua pihak
dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu
hal. Perjanjian tidak membedakan apakah perjanjian tersebut dibuat tertulis
maupun tidak, sehingga kontrak dapat diartikan sebagai perjanjian secara
sempit, yaitu hanya yang berbentuk tertulis. Hal ini memberikan arti bahwa
kontrak dapat disamakan dengan perjanjian.
Perjanjian terjadi antara kedua belah
pihak yang saling berjanji, kemudian timbul kesepakatan yang mengakibatkan
adanya suatu perikatan diantara kedua belah pihak tersebut. Perikatan terdapat
di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian
disamping oleh undang-undang. Hal tersebut datur dan disebutkan dalam Pasal
1233 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”. Pengertian
perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan
tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, perikatan dapat diartikan sebagai
hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam
lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Sebagai realisasi dari perikatan yang
terdapat di dalam perjanjian, maka diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi
masing-masing pihak.
Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata terdapat pada Pasal 1313 yang disebutkan bahwa suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Menurut Abdulkadir Muhammad definisi
tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu:
1.
Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat diketahui
dari perumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih lainnya”. Sehingga tertangkap bahwa yang berkehendak untuk
mengadakan perjanjian hanya satu pihak saja, sehingga seharusnya dirumuskan ”saling
mengikatkan diri”.
2.
Kata
”perbuatan” mencakup juga tanpa consensus Pengertian ”perbuatan” termasuk juga
tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa yang tidak mengandung suatu konsensus. Sehingga
seharusnya yang digunakan adalah kata ”persetujuan”.
3.
Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian
perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas melebihi dari yang dikehendaki
dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bersifat kebendaan,
sehingga menimbulkan penafsiran lain bahwa perjanjian tersebut juga meliputi
janji kawin.
4. Tanpa
menyebut tujuan Tidak tercantumnya tujuan mengadakan perjanjian menimbulkan
ketidakjelasan para pihak mengikatkan diri untuk apa. Oleh karena itu perlu
dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan
alasan-alasan tersebut maka perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakaan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut
Hukum Perjanjian (Law of Contract).
Dalam menciptakan tujuan perjanjian maka
perlu diperhatikan beberapa asas dari perjanjian. Beberapa asas perjanjian
yaitu:
1) Asas
kebebasan mengadakan perjanjian Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid)
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “dengan
siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal
1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
2) Asas
Konsensualisme (persesuaian kehendak) Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320
dan Pasal 1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1338 Kitab
Hukum Undang-Undang Hukum Perdata ditemukan istilah “semua” yang menunjukan
bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasanya
baik untuk menciptakan perjanjian.
3) Asas
Kepercayaan (vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian
dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama
lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin
diadakan oleh para pihak.
4) Asas
Kekuatan Mengikat Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas
pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
5) Asas
Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung hukum. Kepastian
ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang
bagi para pihak.
Agar perjanjian yang di buat sah menurut hukum, diperlukan syarat-sarat
sahnya perjanjian. Menurut pasal 1320 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata mengatur
agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah
pihak, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.
Syarat sahnya perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif
Syarat
subyektif yaitu:
1) Sepakat
mereka mengikatkan dirinya. Sepakat atau yang dinamakan dengan perizinan, dimaksudkan
bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau
seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kata
sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian
kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan
persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming)
jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.[1] Mariam Darus Badrulzaman melukiskan
pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar
pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
penawaran dinamakan akseptasi (accceptatie).[2] Mengingat tidak adanya
definisi penawaran tersebut, Rutten mendefinisikan penawaran sebagai suatu usul
untuk menutup perjanjian yang ditujukan kepada pihak lawan janjinya, usul mana
telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung
menimbulkan perjanjian.[3]
Pernyataan kehendak tersebut harus
merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian
kehendak antara dua saja belum melahirkan perjanjian, karena kehendak tersebut
harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti
oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima
atau menyetujuinya, maka timbullah kata sepakat. Orang dapat mengatakan bahwa
suatu pernyataan adalah suatu penawaran apabila hal itu sampai pada orang yang
diberikan penawaran, sedang pernyataan itu sendiri haruslah diartikan sebagai
suatu tanda yang dapat diketahui dan dimengerti oleh lawan janjinya.
Konsekuensinya, jika terjadi karena penawaran itu diterima secara keliru ada akseptasi yang menyimpang dari penawarannya
maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian.[4] J. Satrio menyebutkan ada
beberapa cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas,
tertulis, dengan tanda, dan diam-diam.[5]
2) Cakap
untuk membuat suatu perjanjian. Setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq
dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Hukum
Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian adalah:
a) Orang
yang belum dewasa
Seseorang dikatakan belum dewasa menurut
Pasal 330 KUH Perdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan
dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi
telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun
1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang
tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan
No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian
adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.
b) Mereka
yang berada di bawah pengampuan
Seseorang yang telah dewasa dapat tidak
cakap melakukan perjanjian, jika yang bersangkutan diletakkan di bawah
pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat
diletakkan di bawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu (onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga
pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akan sehatnya, dan oleh
karenanya dapat merugikan dirinya sendiri
c) Orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Syarat obyektif yaitu:
3) Mengenai
suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya
apa yang dijadikan obyek dalam perjanjian harus jelas. Pasal 1333 KUHPerdata
menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya.Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu
perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu berarti bahwa apa yang
diperjanjikan, yakni hak dan kewajibankedua belah pihak.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.Istilah barang dimaksud di sini apa
yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak.
Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya
berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi,
yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa
benda, tetapi juga bisa berupa jasa. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian.
Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya.[6] KUHPerdata menentukan
bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung
atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang
dalam tahun berikutnya” adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu
rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.
4) Suatu
sebab yang halal. “Sebab yang halal” ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi dan
tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi dan
tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang,
sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata
bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan
undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu
kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan
tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu
dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu
penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman.
J. Satrio mempermasalahkan, apakah kausa
hanya tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan yang bersifat umum ataukah
hanya dalam lingkup yang terbatas. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Pendapat yang satu hanya mau menerima “kesusilaan” dalam lapangan, yakni kalau
ia merupakan penerapan moral umum dalam kalangan terbatas atau hubungan hukum
tertentu. Pendapat yang lain, yakni pendapat yang lebih luas, yang mau menerima
“kesusilaan” dalam kalangan yang terbatas, asal tidak bertentangan dengan
kesusilaan umum. Brakel lebih setuju dengan pendapat yang sempit, alasan sulit
menuntut hakim agar ia menerapkan norma moral, yang tidak diyakininya, karena
ia sendiri bukan berasal dari kalangan di mana moral itu berlaku, dan oleh
karenanya tidak sesuai dengan kesadaran moralnya.[7] Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang
juga apabila bertentangan ketertiban umum. J. Satrio memaknai ketertiban umum
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan
negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dapat dikatakan berkaitan
masalah ketatanegaraan.[8]
Pakar hukum Indonesia umumnya berpendapat
bahwa apabila persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan
untuk melakukan perikatan) tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya
perjanjian, tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Apabila
persyaratan yang menyangkut objek perjanjian (suatu hal tertentu dan adanya
causa hukum yang halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi
hukum.
Perjanjian jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka
perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata sepakat
mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. demikian halnya dengan perjanjian jual beli sesuai dengan ketentuan pasal 1458
KUH Perdata. Hal tersebut di atas
berarti bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan atas kemauan
yang bebas sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai
berikut:[9]
a.
kebebasan
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.
kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c.
kebebasan
untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d.
kebebasan
untuk menentukan obyek perjanjian;
e.
kebebasan
untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f.
kebebasan
untuk menerimas atau menyimpangi ketentyuan undang-undang yang bersifat
opsional.
Perjanjian yang telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang berarti bahwa perjanjian
tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang,
perjanjian tersebut tidak dapat ditarik atau dibatalkan selain sepakat antara
kedua belah pihak atau undang-undang memperkenankan untuk membatalkan
perjanjian tersebut dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
2.
Dalam UU ITE
Jual beli diinternet diatur dalam pasal 17
ayat (1) UU ITE yang berbunyi “Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat
dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat”.
Dalam penjelasan pasal 17 ayat (1) dijelaskan bahwa Undang-Undang ITE
memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat untuk melakukan transaksi
elektronik dengan menggunakan teknologi informasi tersebut. Para pihak yang
melakukan Transaksi Elektronik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 17 ayat
(1) wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi pertukaran Informasi
Elektronik atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. Pemanfaatan
Teknologi Informasi harus dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab,
efektif, dan efisien agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat[10].
Transaksi elektronik dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik yang
mengikat para pihak dalam transaksi tersebut sebagimana di atur dalam pasal 18
UU ITE. Dalam kontrak elektronik tersebut para pihak harus menyepakati sistem
elektronik yang digunakan. Para pihak yang melakukan transaksi elektronik juga
diberikan kewenangan untuk memilih choice
of law dan choice of forum untuk
penyelesaian sengketa dalam transaksinya. Umumnya ketentuan ini dicantumkan
dalam halaman syarat dan ketentuan dalam sebuah website online store yang
merupakan dasar kontrak elektroniknya. Apabila pihak pembeli menyetujui segala
syarat dan ketentuan yang telah dibuat oleh pihak penjual dalam websitenya,
pihak pembeli tinggal mengklik tombol I agree atau centang tanda ceklis ( √ ) pada halaman syarat dan ketentuan tersebut
sebagai tanda kesepakatan dari kontrak elektronik yang telah dibuat.
Kontrak elektronik adalah kontrak baku yang
dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara digital
melalui situs internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak
(dalam hal ini dapat pula oleh penjual), untuk ditutup secara digital oleh
penutup kontrak (dalam hal ini konsumen). Kontrak secara elektronik sebagai salah satu
perjanjian baku dilakukan secara jarak jauh bahkan sampai melintasi batas
negara, dan biasanya para pihak dalam perjanjian elektronik tidak saling
bertatap muka atau tidak pernah bertemu. Perjanjian elektronik menurut
Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), diartikan
sebagai dokumen elektronik yang memuat transaksi dan/atau perdagangan
elektronik, sedangkan perdagangan secara elektronik diartikan sebagai
perdagangan barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau
media elektronik lainnya.
Ketentuan hukum jual beli sebagaimana
telah diuraikan diatas, dapat diberlakukan pula pada transaksi secara
elektronik (Electronic Commerce). Bukti adanya hubungan hukum antara
para pihak dalam transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat ditunjukkan
dengan adanya dokumen elektronik berupa informasi elektronik atau hasil cetak
informasi elektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sah baik dalam peradilan
perdata, peradilan pidana, peradilan tata usaha negara dan peradilan lainnya. Bukti transaksi elektronik diakui sebagai alat
bukti jika terjadi sengketa. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UU ITE,
yang menentukan sebagai berikut:
(1) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.
(2) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah pabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh
pejabat pembuat akta.
Memperhatikan uraian
sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 UU ITE sebagaimana di atas dapat dijelaskan
bahwa UU ITE mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, yang berarti alat bukti sah sebagaimana
pasal 1866 KUH Perdata termasuk sebagai alat bukti berupa tulisan. Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini,
yang berarti bahwa tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat
bukti sah, selain dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU ITE.
Di dalam transaksi menggunakan sarana
elektronik, meskipun dapat digunakan sebagai alat bukti adanya transaksi
tersebut, perlu adanya ketentuan hukum sebagai pelengkap terdiri dari ketentuan
umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu. Jual-beli merupakan
salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, sedangkan E-Commerce pada dasarnya merupakan model
transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti
internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan
lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang
diatur dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktifitas E-Commerce di Indonesia. Jika dalam
pelaksanaan transaksi E-Commerce
tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam
ketentuan tersebut.
Perlu diketahui bahwa Dengan
diundangkannya UU ITE, alat bukti elektronik yang sebelumnya hanya dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam pengadilan dalam tindak pidana
tertentu saja seperti kasus korupsi, terorisme, dan money laundring juga dapat digunakan pada pengadilan pidana biasa.
Namun bukan berarti data elektronik dapat begitu saja digunakan sebagai alat
bukti. Ada beberapa dokumen yang tidak dapat menggunakan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yaitu seperti yang disebut dalam Pasal 5 ayat (4).
Dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti juga haruslah
dokumen yang dapat dijaga validitasnya
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dokumen elektronik sangat mudah
untuk dimanipulasi sehingga tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan
sebagai alat bukti. Dalam pasal 6 UU ITE dijelaskan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di
dalamnya dapat diakses ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.[11]
[1]
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Timbul dari Perjanjian, Buku 1,Citra
Adiyta Bakti, Bandung, 1995, hlm. 164.
[2] Mariam
Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 24.
[3] J.
Satrio, Op. Cit., hlm. 166.
[4] Ibid.,
hlm. 176.
[5] Ibid.,
hlm. 183.
[6] J.
Satrio, Hukum Perikatan..., Op. Cit., hlm. 41.
[7] Ibid.,
hlm. 110.
[8] Ibid.,
hlm. 127
[9] Sutan
Remy Sjahdeini, “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h.47.
[10] Republik
Indonesia, Op. Cit., h 21
[11] “Alat
Bukti Elektronik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik” <www.wisnu.blog.uns.ac.id.>
Diakses tanggal 31 Januari 2012