Layanan Kami




Latest News

Sabtu, 19 Maret 2016

Dasar hukum jual beli secara online

etak langsung ke pdf atau langusng kirim via email
A.   DASAR HUKUM YANG MENGATUR JUAL BELI ONLINE
1. Dalam KUHPerdata
      Terjadinya proses jual beli secara online berasal dari kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Kesepakatan yang dibuat oleh pihak penjual dan pembeli dalam kitab KUHPerdata di kenal dengan istilah kontrak. Kontrak dapat disamaartikan dengan perjanjian, hal mendasar perbedaan pengertian kontrak dan perjanjian, yaitu kontrak merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, sedangkan perjanjian merupakan semua bentuk hubungan antara dua pihak dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian tidak membedakan apakah perjanjian tersebut dibuat tertulis maupun tidak, sehingga kontrak dapat diartikan sebagai perjanjian secara sempit, yaitu hanya yang berbentuk tertulis. Hal ini memberikan arti bahwa kontrak dapat disamakan dengan perjanjian.

      Perjanjian terjadi antara kedua belah pihak yang saling berjanji, kemudian timbul kesepakatan yang mengakibatkan adanya suatu perikatan diantara kedua belah pihak tersebut. Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian disamping oleh undang-undang. Hal tersebut datur dan disebutkan dalam Pasal 1233 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”. Pengertian perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, perikatan dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Sebagai realisasi dari perikatan yang terdapat di dalam perjanjian, maka diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masing-masing pihak.
      Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pada Pasal 1313 yang disebutkan bahwa suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Abdulkadir Muhammad definisi tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu:
1.    Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat diketahui dari perumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Sehingga tertangkap bahwa yang berkehendak untuk mengadakan perjanjian hanya satu pihak saja, sehingga seharusnya dirumuskan ”saling mengikatkan diri”.
2.     Kata ”perbuatan” mencakup juga tanpa consensus Pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa yang tidak mengandung suatu konsensus. Sehingga seharusnya yang digunakan adalah kata ”persetujuan”.
3.    Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas melebihi dari yang dikehendaki dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bersifat kebendaan, sehingga menimbulkan penafsiran lain bahwa perjanjian tersebut juga meliputi janji kawin.
4.    Tanpa menyebut tujuan Tidak tercantumnya tujuan mengadakan perjanjian menimbulkan ketidakjelasan para pihak mengikatkan diri untuk apa. Oleh karena itu perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakaan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut Hukum Perjanjian (Law of Contract).

      Dalam menciptakan tujuan perjanjian maka perlu diperhatikan beberapa asas dari perjanjian. Beberapa asas perjanjian yaitu:
1)    Asas kebebasan mengadakan perjanjian Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
2)    Asas Konsensualisme (persesuaian kehendak) Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata ditemukan istilah “semua” yang menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
3)    Asas Kepercayaan (vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak.
4)    Asas Kekuatan Mengikat Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
5)    Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

      Agar perjanjian yang di buat sah menurut hukum, diperlukan syarat-sarat sahnya perjanjian. Menurut pasal 1320 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata mengatur agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif
Syarat subyektif yaitu:
1)    Sepakat mereka mengikatkan dirinya. Sepakat atau yang dinamakan dengan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.[1]  Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (accceptatie).[2] Mengingat tidak adanya definisi penawaran tersebut, Rutten mendefinisikan penawaran sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian yang ditujukan kepada pihak lawan janjinya, usul mana telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.[3]
      Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian kehendak antara dua saja belum melahirkan perjanjian, karena kehendak tersebut harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbullah kata sepakat. Orang dapat mengatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu penawaran apabila hal itu sampai pada orang yang diberikan penawaran, sedang pernyataan itu sendiri haruslah diartikan sebagai suatu tanda yang dapat diketahui dan dimengerti oleh lawan janjinya. Konsekuensinya, jika terjadi karena penawaran itu diterima secara keliru  ada akseptasi yang menyimpang dari penawarannya maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian.[4] J. Satrio menyebutkan ada beberapa cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas, tertulis, dengan tanda, dan diam-diam.[5]

2)    Cakap untuk membuat suatu perjanjian. Setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
a)    Orang yang belum dewasa
     Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.
b)    Mereka yang berada di bawah pengampuan
     Seseorang yang telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian, jika yang bersangkutan diletakkan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat diletakkan di bawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu (onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akan sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri
c)    Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Syarat obyektif yaitu:
3)    Mengenai suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang dijadikan obyek dalam perjanjian harus jelas. Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajibankedua belah pihak.  
     Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.[6] KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun berikutnya” adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.
4)    Suatu sebab yang halal. “Sebab yang halal” ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.
      Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.
     J. Satrio mempermasalahkan, apakah kausa hanya tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan yang bersifat umum ataukah hanya dalam lingkup yang terbatas. Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat yang satu hanya mau menerima “kesusilaan” dalam lapangan, yakni kalau ia merupakan penerapan moral umum dalam kalangan terbatas atau hubungan hukum tertentu. Pendapat yang lain, yakni pendapat yang lebih luas, yang mau menerima “kesusilaan” dalam kalangan yang terbatas, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan umum. Brakel lebih setuju dengan pendapat yang sempit, alasan sulit menuntut hakim agar ia menerapkan norma moral, yang tidak diyakininya, karena ia sendiri bukan berasal dari kalangan di mana moral itu berlaku, dan oleh karenanya tidak sesuai dengan kesadaran moralnya.[7]  Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila bertentangan ketertiban umum. J. Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dapat dikatakan berkaitan masalah ketatanegaraan.[8]
     Pakar hukum Indonesia umumnya berpendapat bahwa apabila persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan perikatan) tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Apabila persyaratan yang menyangkut objek perjanjian (suatu hal tertentu dan adanya causa hukum yang halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

     Perjanjian jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut.  demikian halnya dengan perjanjian  jual beli sesuai dengan ketentuan pasal 1458 KUH Perdata.  Hal tersebut di atas berarti bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan atas kemauan yang bebas sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:[9]
a.    kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.    kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c.    kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d.    kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
e.    kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f.     kebebasan untuk menerimas atau menyimpangi ketentyuan undang-undang yang bersifat opsional.

     Perjanjian yang telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang berarti bahwa perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang, perjanjian tersebut tidak dapat ditarik atau dibatalkan selain sepakat antara kedua belah pihak atau undang-undang memperkenankan untuk membatalkan perjanjian tersebut dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.


2. Dalam UU ITE
     Jual beli diinternet diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU ITE yang berbunyi “Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat”.  Dalam penjelasan pasal 17 ayat (1) dijelaskan bahwa Undang-Undang ITE memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat untuk melakukan transaksi elektronik dengan menggunakan teknologi informasi tersebut. Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi pertukaran Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat[10].

    Transaksi elektronik dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik yang mengikat para pihak dalam transaksi tersebut sebagimana di atur dalam pasal 18 UU ITE. Dalam kontrak elektronik tersebut para pihak harus menyepakati sistem elektronik yang digunakan. Para pihak yang melakukan transaksi elektronik juga diberikan kewenangan untuk memilih choice of law dan choice of forum untuk penyelesaian sengketa dalam transaksinya. Umumnya ketentuan ini dicantumkan dalam halaman syarat dan ketentuan dalam sebuah website online store yang merupakan dasar kontrak elektroniknya. Apabila pihak pembeli menyetujui segala syarat dan ketentuan yang telah dibuat oleh pihak penjual dalam websitenya, pihak pembeli tinggal mengklik tombol  I agree atau centang tanda ceklis ( √ )  pada halaman syarat dan ketentuan tersebut sebagai tanda kesepakatan dari kontrak elektronik yang telah dibuat.
    Kontrak elektronik adalah kontrak baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara digital melalui situs internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak (dalam hal ini dapat pula oleh penjual), untuk ditutup secara digital oleh penutup kontrak (dalam hal ini konsumen). Kontrak  secara elektronik sebagai salah satu perjanjian baku dilakukan secara jarak jauh bahkan sampai melintasi batas negara, dan biasanya para pihak dalam perjanjian elektronik tidak saling bertatap muka atau tidak pernah bertemu. Perjanjian elektronik menurut Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), diartikan sebagai dokumen elektronik yang memuat transaksi dan/atau perdagangan elektronik, sedangkan perdagangan secara elektronik diartikan sebagai perdagangan barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya.

       Ketentuan hukum jual beli sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat diberlakukan pula pada transaksi secara elektronik (Electronic Commerce). Bukti adanya hubungan hukum antara para pihak dalam transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat ditunjukkan dengan adanya dokumen elektronik berupa informasi elektronik atau hasil cetak informasi elektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sah baik dalam peradilan perdata, peradilan pidana, peradilan tata usaha negara dan peradilan lainnya. Bukti transaksi elektronik diakui sebagai alat bukti jika terjadi sengketa. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 5 UU ITE, yang menentukan sebagai berikut:
(1)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3)  Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah pabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
(4)   Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a.   surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b.   surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 UU ITE sebagaimana di atas dapat dijelaskan bahwa UU ITE mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, yang berarti alat bukti sah sebagaimana pasal 1866 KUH Perdata termasuk sebagai alat bukti berupa tulisan. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini, yang berarti bahwa tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti sah, selain dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam UU ITE.
Di dalam transaksi menggunakan sarana elektronik, meskipun dapat digunakan sebagai alat bukti adanya transaksi tersebut, perlu adanya ketentuan hukum sebagai pelengkap terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu. Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, sedangkan E-Commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktifitas E-Commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi E-Commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
      Perlu diketahui bahwa Dengan diundangkannya UU ITE, alat bukti elektronik yang sebelumnya hanya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam pengadilan dalam tindak pidana tertentu saja seperti kasus korupsi, terorisme, dan money laundring juga dapat digunakan pada pengadilan pidana biasa. Namun bukan berarti data elektronik dapat begitu saja digunakan sebagai alat bukti. Ada beberapa dokumen yang tidak dapat menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yaitu seperti yang disebut dalam Pasal 5 ayat (4). Dokumen elektronik yang dapat digunakan sebagai alat bukti juga haruslah dokumen yang dapat dijaga validitasnya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dokumen elektronik sangat mudah untuk dimanipulasi sehingga tidak semua dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti. Dalam pasal 6 UU ITE dijelaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.[11]


[1] J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Timbul dari Perjanjian, Buku 1,Citra Adiyta Bakti,  Bandung, 1995, hlm. 164.
[2] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 24.
[3] J. Satrio, Op. Cit., hlm. 166.
[4] Ibid., hlm. 176.
[5] Ibid., hlm. 183.
[6] J. Satrio, Hukum Perikatan..., Op. Cit., hlm. 41.
[7] Ibid., hlm. 110.
[8] Ibid., hlm. 127
[9] Sutan Remy  Sjahdeini, “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h.47.
[10] Republik Indonesia, Op. Cit., h 21
[11] “Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik” <www.wisnu.blog.uns.ac.id.> Diakses tanggal 31 Januari 2012
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Dasar hukum jual beli secara online Description: Rating: 5 Reviewed By: Anonim
Scroll to Top